Kisah Deni
Malam itu malam minggu, Dea. Kamu menjadwalkan kita nonton Titanic di rumahmu. Titanic untuk kedua puluh kalinya kita tonton berdua dan kamu tidak pernah absen menangis di adegan Jack memeluk Rose di ujung kapal sebelum Titanic jatuh dan terbelah dua.
Sedangkan saya hanya berkonsentrasi melihat perubahan ekspresi wajahmu di tiap-tiap adegan.
Atau menemanimu mengikuti dialog Rose dan Jack. Kamu, Rose. Saya, Jack.
Kamu : ” Teach me to ride like a man”
Saya : “And chew tobacco like a man.”
Kamu : “And spit like a man!”
Saya : “What, they didn't teach you that in finishing school?”
Lalu kita berdua akan tertawa sambil memandang wajah satu sama lain.
Kita berdua memutuskan menonton Titanic karena kita baru saja mendengar lagu “My Heart Will Go On” nya Celine Dion di café tempat kita makan siang tadi. Kamu bilang kamu sudah lama tidak menonton film itu. Saya mengangguk. Kamu bilang, kamu rindu wajah handsome nya Leonardo Di Caprio. Saya mengiyakan. Kamu bilang, itu salah satu film terlaris sepanjang masa sampai James Cameron membuat Avatar di tahun 2009. Saya bilang, dari sini kita langsung ke Video Ezy di Panakukkang. Kamu lalu diam dan menghabiskan nasi goreng di piringmu.
Itu Titanic kita yang pertama. Dilanjutkan dengan delapan belas kali lagi Titanic sebelum sampai di malam minggu itu, Dea.
Tapi malam itu kau tidak lagi menangis di adegan: saat Jack memeluk Rose di ujung kapal sebelum Titanic jatuh dan terbelah dua. Kau tidak lagi mencari tanganku untuk kau pegang saat kapal pesiar yang megah itu hancur berkeping-keping dan membunuh banyak orang. Malahan, kau hanya terus menahan kantuk dari tengah hingga akhir film. Malam itu, tidak seperti sembilan belas Titanic kita sebelumnya, kau langsung menyuruhku pulang saat film selesai.
Saya bertanya ada apa denganmu dan kamu hanya bilang bahwa itu menjadi Titanic kita yang terakhir.
0 komentar:
Posting Komentar