Rabu, 16 Maret 2011

absen dulu

menjelang KKN sepertinya blog ini absen dulu dari kancah dunia per-blog-an. Saya, Insya Allah, more or less, akan kembali di bulan Mei.

keep it reading another posting yaa, guys!

Robohnya Surau Kami



Ditulis oleh A.A. Navis dan pertama kali terbit tahun 1956. Berisi 10 cerpen yang bertemakan sosio-religi yang luarbiasa menginspirasi. Buku kumpulan cerpen ini menjadi salah satu karya sastra monumental dalam dunia sastra di Indonesia.

Judul 10 cerpen dalam buku ini:

Robohnya Surau Kami,
Anak Kebanggaan,
Nasihat-nasihat,
Topi Helm,
Datangnya dan Perginya,
Pada Pembotakan Terakhir,
Angin dari Gunung,
Menanti Kelahiran,
Penolong, dan
Dari Masa ke Masa.

Saya paling suka Robohnya Surau Kami, Anak Kebanggaan, Pada Pembotakan Terakhir dan Dari Masa ke Masa. Tapi overall, semua ceritanya keren dan sarat pesan.

Have a nice reading!

Love,
Sunshine

QUESTION I HATE THE MOST

"Riii, sama siapa ko pulang?"

Ini pertanyaan paling saya benci seumur hidup. Pertama, karena pertanyaan ini mengesankan ketidakmandirian dan ketidakberdayaan saya. Kedua, karena mau tidak mau, suka tidak suka, jawaban yang paling mendekati benar dan mungkin diharapkan oleh yang bertanya adalah Bwave.

Bukan hanya malam ini. Sudah banyak malam yang saya lewati dengan kebimbangan bertanya-tanya sendiri dalam hati, bagaimana saya pulang? siapa yang akan membawa saya pulang?

Pernah suatu kali, dalam acara volunteer, waktu sudah menunjukkan jam sepuluh malam. Saat saya bertanya pada salah satu teman cowok, "Bagaimana ka' pulang?" dan dia dengan tega menjawab."Kenapa ko tanyaka'?"

Asli. Ciut langsung nyaliku beralih tanya ke teman cowok selanjutnya.
Asli. Saya hilang ide mencari teman pulang dan juga tebengan.
Asli. Saya tidak tahu bagaimana nasib pulangku.

Tiba-tiba seperti malaikat, Kak Aan bersedia mengantar saya, Isti dan Dini, pulang dengan taksi.

Itu baru satu contoh.

Dan masalah pulang malam selalu menjadi masalah dari dahulu hingga sekarang dengan satu pertanyaan yang saya paling benci itu.
"Siapa antarko pulang?"

Tidak adakah yang bisa bilang begini:
"Ri, sini saya antarko pulang..."

Saya cuma bisa sabar dan sabar. Untungnya saya tidak setiap hari pulang malam. Pas ada hajatan saja, misalnya malam ini: syukuran ulangtahunnya Riri.

Dan bencinya lagi, kalau sahabatmu sudah dengan asiknya mendapat tebengan dan tinggal dirimu sendiri yang terkatung-katung tak tentu.

Apalagi, kalau orang yang kau harapkan menawarkan padamu tebengan pulang, tidak juga mengatakan padamu apa-apa. Dia cuma bisa menertawakanmu puas-puas karena tingkahmu yang menurut dia lucu sedangkan kau setengah mati menahan kesal dalam hati.

Yah, cuma itu.
Setidaknya soal antar mengantar pulang ke rumah hanya salah satu hal kecil tidak penting dari sekian hal penting yang layak ditulis.

Have a nice day semuanya!!


Love,
Sunshine

Skripsi Salah Tingkah

Terus berkeluh kesah karena Unilever tak juga memberi jawaban atas permintaan penelitian saya bukanlah hal yang baik. Jujur, saya memang sedikit kecewa dan patah semangat. Bagaimana tidak? Kemarin saya yang begitu gencar menyemangati Tya dan Riri, teman sesama PA Prof. Hafied, untuk menyetor judul penelitian skripsi. Sekarang, Tya sudah mendekati seminar proposal sedangkan Riri, kalau dia tidak bekerja full-time, mungkin juga akan bernasib sama dengan Tya. Nah, saya sendiri? Masih stuck dengan Unilever. Tak tahu data-data penelitian judul saya tentang Magnum Classic itu mau saya dapat dari mana. Semoga ada jalan keluarnya, amin.

Well, karena itulah susunan text book tentang Promosi Periklanan dan Manajemen Pemasaran yang berjajar di meja masih belum saya tindak lanjuti. Semangat membaca dan merapikan proposal penelitian saya berangsur-angsur pudar.

Sehingga, pelarian bacaan saya beralih lagi ke novel dan buku kumpulan cerpen. Please, don't judge me too much. Maksud saya, disaat-saat teman-teman lain asyik dengan bacaannya tentang semiotika, semiologi, rasisme, budaya populer, hegemoni, analisis teks dan wacana, teori Van Dijk dan betapa mereka merindukan komik, novel dan sebangsanya, saya malah tenggelam di dalam hal yang mereka rindukan itu.

Saya malah menamatkan Bridget Jones' Diary karya Helen Fielding dalam empat jam dan Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis dalam tiga jam.



Love,
Ri

Selasa, 15 Maret 2011

Lely Wandi Wedding

Tiga hari kemarin, Jumat sampai Minggu (11-13 Maret), saat Calisto7 boys ke Ramma, saya, Isti, Ira, Rahma, Tya dan Anita, menghadiri acara pernikahan sepupunya Dini. Riswandi dan Lely. Kalau kalian membaca postingan saya di Februari kemarin pada acara lamaran pasti tahu tentang acara nikahan ini.

Menghadiri bukan kata yang cocok. Sebab kami seperti menjadi bagian dari keluarga. Kami hadir di acara Mappaci, akad nikah dan resepsi. Untuk dua acara terakhir, kami memakai baju bodo'.

Kami memang bukan perempuan yang senang ber-make up dan selalu tampil cantik. Kami tidak biasa memakai foundation, malah saat Anita memakaikan saya eyeliner, saya menangis saking perihnya. Tapi kami tahu saat-saat seperti pesta pernikahan kami harus berdandan dan tampil cantik sebagaimana perempuan lainnya. Dan inilah beberapa foto-foto yang sebagian besar diambil dengan kamera Nikon D90 Rahma.

Lely dan Wandi. ditemani oleh Ibu Bapaknya Dini

Mappaci' Night




Isti, Ira, Saya, Anita, Tya, Rahma

Rabu, 09 Maret 2011

His Stupidity

Entah persisnya tanggal berapa, tapi ini salah satu obrolan saya dengan Bwave saat dia di Jogja yang, menurut saya, paling ongol sepanjang masa.

Saya : "Ada apa di kulkas?"
Bwave : "Cuma ada....telur"
Saya : "Nda bisako makan telur."
Bwave : "Maumi diapa?"
Saya : "Cari makan diluar mko..."
Bwave : "Hematka'..."
Saya : "Saya kira murah ji makanan di sana."
Bwave : " ......"

Bwave : "Bagaimana caranya masak telur?"
Saya : "Tergantung. Mau didadar atau diceplok?"
Bwave : "Bagaimana kalau dadar?"
Saya : "Telurnya dikocok, dikupaskan bawang merah, daun bawang, garam. Kalau diceplok, langsung saja dikasih turun telurnya di wajan.."
Bwave : "Yang gampang mo deh,..."

Kemudian...

Bwave : "Astagaaa, ko nda bilang sedikitji minyaknya..."
Saya : "Ya ampun, saya kira ko tau ji.."
Bwave : "Deh, mengapung mi telurnya..."
Saya : *membayangkan*
Bwave : "Sudahmi, telanjur..."
Saya : "Kasikan garam atau kecap supaya enak..."
Bwave : "...."

Tidak lama...

Bwave : "Astagaa, hitam ki telurnya..."
Saya : "Kenapa bisa?"
Bwave : "Kapankah dikasikan kecap?"
Saya : *loading*
"Jangko bilang mu kasikan kecap di wajannya!
Bwave : "Iyo..."
Saya : "Astagaa, kita' itu diangkat dulu telurnya ke piring baru dikasi kecap..."
Bwave : "Sudahmi, telanjur. Biarmi begini..."
Saya : *tertawa sampai sakit perut*
"Hahaha, yang penting hidup, dii...?"
Bwave : "Iyo..."
Saya : *masih tertawa*
Bwave : "Sudahmi pade nah, mau ka makan..."
Saya : "Oke.."


FIN