Jadi volunteer di Sub Kitchen |
Tucson, 18 Juli 2010
Siang itu, seperti siang yang sama di Tucson, panas dan terang. Amanda dan Jamie sudah menunggu kami di depan apartemen Sahara dengan shuttle CESL. Hari itu, kami menjadi volunteer di Sub Kitchen dan mereka berdualah yang akan mengantar kami menuju Speedway.
Sampai disana, saya menemukan diri saya bersama 18 teman se-grup berada di sebuah lapangan yang cukup luas. Sudah ada beberapa tenda terpasang yang dipakai orang-orang berteduh, duduk dan bekerja. Amanda dan Jamie cukup menurunkan kami disana dan mereka akan menjemput kami dua jam kemudian.
Kemudian kami mendaftarkan diri sebagai volunteer; membuat barisan lalu satu persatu dari kami dicatat namanya dan diberi nametag yang ditempel di kaos dekat dada--sebagai pengenal.
Terlalu panas. Padahal baru jam setengah tiga. Saat summer, puncak panas di Tucson sekitar jam 4. Maka saya meminjam topi milik Sakti dan memakai kacamata karena silaunya tak tertahankan.
Tugas pertama kami yaitu membungkus sendok dengan tisu. Kami diberi sarung tangan plastik untuk menjaga sendok yang dibungkus itu tetap bersih dari kuman. Karena kami banyak, tentu saja, pekerjaan itu segera selesai.
Saya dan Firman lipat-lipat tisu |
Kemudian kami pun memilih pekerjaan apa yang hendak kami bantu. Ada yang membantu mengatur semua makanan ke meja, ada yang membantu mengangkat ini itu dan sebagainya. Makin lama, makin banyak orang yang datang.
Kursi-kursi mulai disusun beberapa baris. Stand-stand makanan juga sudah mulai mengatur makanannya ke dalam beberapa boks dan tempat. Stand pakaian dan stand sembako juga sudah siap. Saya dengan teman-teman lain, berjaga di stand sembako. Sebagian lagi di stand makanan.
Saat itu saya dan Wiwid saking hausnya, mencari toserba yang menjual Coke atau Pepsi. Untunglah, ada toserba yang lumayan besar tepat di samping lapangan itu. Wiwid membeli Coke botol sedang. Saat kami kembali, antrian sudah terbentuk.
Betapa tercengangnya saya melihat homeless yang mengantri itu. Mereka memang agak kumal dan tidak terurus tapi mereka semua sehat. Sub Kitchen ini merupakan tempat dimana mereka bisa memperoleh apapun yang mereka butuhkan dalam seminggu. Apapun. Mulai dari makanan, obat-obatan, susu, keju, roti, buah, yogurt, makanan siap saji hingga pakaian. Mereka bebas memilih dan mengambil apapun yang mereka butuhkan. Dalam jumlah berapapun. Dipersilahkan. Program ini dijalankan oleh The Giving Tree yang bertujuan menolong para homeless, anak-anak dan keluarga yang membutuhkan di Tucson, Arizona.
Hal yang mencengangkan saya adalah betapa mereka tetap menjaga budaya antri dan menunggu giliran. Tidak berdesak-desakan, mendorong, apalagi berteriak kasar. Maksud saya, saya pernah mendengar kasus pembagian beras dan BLT yang berujung maut di Indonesia. Dan hal ini walaupun tujuannya sama, namun praktiknya jauh berbeda. Padahal kita sama-sama manusia.
Satu persatu, dengan ramah, saya bertanya pada siapapun yang telah sampai di meja saya. "Do you need milk? or yogurt?" dan mereka akan menjawab, "Yes, give me two.." dan saya akan memberinya dua kaleng susu atau yogurt. Atau, "How about water? or grape tomato?" Jika mereka butuh, mereka bilang butuh dan jika tidak, mereka menolak. Sesederhana itu. Jika mereka lupa mengambil sesuatu dan gilirannya sudah lewat, mereka mengantri kembali dari awal.
Banyak pula yang penasaran akan keberadaan kita disana. Siapa kami? Apa yang kami lakukan? Dari mana kami berasal? Beberapa dari kami pun menjelaskan. Kami student di University of Arizona dan kami dapat beasiswa kesana untuk improve English. Kami datang jauh dari Indonesia. Dan mereka sangat appreciate for our help dan juga bangga pada kami--UofA punya nama yang sangat baik disana.
Dua jam yang tidak terasa, Amanda dan Jamie sudah datang dengan shuttle CESL. Siap mengantar kami kembali ke Sahara apartment.
*one of the memorable moment happened in Tucson*