i Lagaligo backdrop in front of Fort Rotterdam, Makassar |
Pamer tikeeeet. Tya, Me and Dini |
this is the ticket! GOLD, IDR 150,000 |
@indah_ain @ayuirt, Dea-adeknya Muthe, @dhinieDhie @liebebanane and @Mutmuthe |
the stage is awesome! |
Hari itu, 24 April sore sekitar pukul 4 sore, saya, Dini dan Tya sudah ada di depan Fort Rotterdam. Langit mendung dan kelam, tak seperti semangat kami bertiga yang menyala-nyala. Pertanda hujan badai, kami sudah pesimis acara yang kami tunggu-tunggu pukul setengah 7 itu, akan batal karena hujan. Rupanya tidak.
Event yang membuat saya kabur dari posko KKN di Lawallu, Barru, tentu saja event Teater Tari dan Musik: I Lagaligo ini. Event yang disebut-sebut menghabiskan dana sekitar 3 miliar rupiah, yang sudah melegenda di seluruh dunia, kisah yang berasal dari tanah Bugis secara turun temurun, lalu dipentaskan di Makassar. Tiket 150 ribu rupiah, rela dikocek dari kantong mahasiswa seperti kami yang mestinya hidup prihatin.
Dan tentu saja, it was ALL worthed.
Sajian teater yang disutradarai oleh Robert Wilson ini memang keren. Mulai dari mimik wajah, gerakan tubuh, syair, musik, tarian, kostum, apalagi lighting nya, luarbiasa. Tak ada yang murahan, tak ada yang kampungan. Benar-benar dibawakan oleh para seniman professional.
Saat dilahirkan, Sawerigading kembar emas dengan seorang gadis cantik bernama We Tenri Abeng. Diramalkan akan saling jatuh cinta saat dewasa, maka mereka dipisahkan oleh Dewan Adat. Saat telah dewasa, mereka tak sengaja saling bertemu. Sawerigading jatuh cinta pada We Tenri Abeng dan berniat menikahinya.
Namun karena adat dan larangan, We Tenri Abeng menolak dan menawarkan pada Sawerigading seorang gadis Cina yang tak kalah cantik dan rupawan darinya, bernama We Cudai.
Maka berlayarlah Sawerigading ke Cina untuk melihat We Cudai. Ternyata memang benar. We Cudai sama cantiknya dengan We Tenri Abeng. Maka Sawerigading membawa mahar dan berniat menikahi We Cudai. Tapi, karena salah paham, We Cudai menolak diperistri. Orangtua We Cudai membujuknya bahwa dia hanya menjadi gundik. We Cudai lalu setuju dengan syarat, dia hanya ingin melihat Sawerigading saat gelap. Saat bercinta pun, We Cudai tetap tidak ingin melihat wajah Sawerigading. Sawerigading akhirnya tersinggung karena ditolak.
We Cudai kemudian melahirkan Lagaligo yang dibuang saat dia lahir. Lagaligo kemudian dipelihara oleh ayahnya, Sawerigading. Beberapa tahun kemudian, We Cudai akhirnya bertemu lagi dengan Sawerigading dan anaknya, Lagaligo, yang sudah menjadi laki-laki gagah yang kuat. We Cudai pun akhirnya untuk pertama kali melihat wajah Sawerigading dengan jelas dan ia jatuh cinta.
Sawerigading memilih kembali mencari adiknya yang belum dilupakannya, We Tenri Abeng, yang sudah menghuni Dunia Atas dan menjadi Bissu'-pendeta. Saat mereka kemudian bertemu lagi, mereka pun memilih untuk melanggar adat dan larangan dewa-dewa dan memilih untuk bersatu selamanya. Dewa-dewa marah kemudian memutuskan untuk tak akan ikut campur lagi pada urusan manusia di dunia.
Itulah sekilas cerita dari sepuluh adegan teater I Lagaligo di atas panggung yang megah dengan sorotan lampu yang terang dan berwarna warni. Pertunjukkan berdurasi 2,5 jam mampu membius penonton dan memusatkan perhatian pada panggung itu saja. Sebagian bahkan ada yang rela berdiri supaya bisa menonton lebih jelas. Malam itu memang malam Lagaligo.
Hanya saja, saya hanya merasa kurang baik melaksanakan event besar dan mahal ini di situs sejarah Fort Rotterdam. Saya tidak menjamin misalnya karena pendirian panggung, ada beberapa tanaman yang dirusak. Belum lagi pemakaian beberapa ruangan untuk dijadikan ruangan panitia pelaksana. Bukankah sebaiknya kita memperbaiki gedung Kesenian Makassar-Societiet de Harmonie- lalu menggunakannya seperti yang seharusnya? Bukankah sudah seharusnya kesenian diberikan tempat untuk berkembang di Makassar?
Love,
Sunshine