Kamis, 29 Mei 2008

First Cerpen Publish

APEL HITAM

Oleh: Riana .D. Resky

Aku melangkahkan kaki melawan gentar di jalan setapak sepi itu. Berjaga-jaga pada suara langkah kaki orang yang kucari-cari. Aku memegang pistol dengan kedua tangan dan membawanya ke dekat telinga. Jantungku berdebar kencang, aku berpikir keras. Bagaimanapun caranya orang itu harus kutangkap!

Aku mulai menajamkan indera pendengaranku, tertatih aku berjongkok untuk melihat langkah itu makin mendekat. Dan benar saja, ketika sepatu orang yang itu hanya berjarak satu meter dariku, dengan berusaha menyembunyikan rasa takut dan gemetar, aku lalu mengacungkan pistol padanya dan berteriak keras.

“Jangan bergerak!!!Angkat tangan dan menghadap ke tembok!!” kataku keras.

Sepersekian detik ketika aku berkata begitu, anak buahku yang terdiri atas beberapa laki-laki besar dan berotot menyergap orang itu. Menarik dengan kasar tangannya ke belakang lalu memborgolnya. Orang itu melawan, namun langsung diberi pukulan keras pada kepalanya. Satu kali, lalu dia berhenti bergerak lebih jauh. Setelah itu beberapa mobil patroli datang, dan segera membekuk tersangka perampokan itu menuju mobil patroli.

Hari ini berakhir baik, pikirku.

Aku segera menarik nafas lega ketika atasanku datang dengan wajah pucat dan panik namun kelihatan lega setelah melihatku tidak apa-apa.

“Sersan Liva!! Anda baik-baik saja?” seru seorang laki-laki yang baru saja keluar dari dalam mobil sedan hitam dan memakai setelan jas yang sudah pudar warnanya. Dia atasanku. Yang menugaskanku menyelesaikan kasus hari ini.

Aku mengangguk sambil menyeka keringat yang mengucur turun membasahi pakaianku, mungkin karena desakan cuaca atau karena rasa gemetar yang berusaha kusembunyikan. Aku lalu berjalan menuju arah suara yang memanggilku. Namun setelah berhadapan dengan dia aku langsung tahu ada masalah yang lebih serius yang sedang terjadi dibandingkan kasus perampokan tadi. Aku lalu bertanya, dia menarik nafas panjang dan menjawab hal yang paling mengkhawatirkanku dua tahun belakangan ini.

Kasus Geng Apel Hitam.

Aku bekerja sebagai polisi di Kepolisian Pusat di kota ini. Aku dikenal dengan nama Liva Gerasanti. Sebagai anak buah, atasanku―Jersin Yo menjadikanku anak emasnya. Karena menurutnya baru ada seorang polisi wanita yang seperti aku. Bertanggung jawab, terpercaya dan selalu melakukan tugas dengan baik. Aku bilang karena aku menyukai pekerjaanku. Karena itulah baru setahun aku bekerja, dia sudah mempromosikan aku menjadi Sersan II.

Aku mengerjakan kasus-kasus kejahatan yang sulit dengan hasil yang memuaskan, seperti hari ini ketika terjadi perampokan di kawasan perumahan elit. Perampok itu sudah menjadi daftar “most wanted” kepolisian dan tidak ada yang bisa menangkapnya, karena jalur pelarian diri perampok ini terencana dengan matang. Banyak yang berpendapat dia beraksi berkelompok, namun menurutku tidak. Dia beraksi sendirian. Dan ketika aku ditugaskan untuk menangkap perampok ini, aku telah menebak dimana kira-kira jalur pelarian diri perampok ini, dan dugaanku benar. Dia memilih jalur yang selalu dilewati para penjual makanan yang hanya diketahui para penjual itu, untuk menghindari penyalur yang pelit, jalan setapak sepi itu.

“Tunggu saja, kau!!Akan kuhabisi nanti!!” kata perampok itu ketika berjalan melewatiku saat kedua polisi lain menggiringnya ke mobil patroli. Aku sudah sering mendengar ancaman seperti itu dilayangkan padaku. Namun, masih saja kedengaran menakutkan.

Aku kembali berkonsentrasi pada hal yang lebih urgent.

“Bagaimana kalau kasus itu diberikan pada saya, Pak?” aku menawarkan diri.

Sebenarnya, kasus Geng Apel Hitam ini sudah lama kuincar. Geng penjahat ini sudah terlalu lama berkuasa atas kejahatan yang terjadi di kota ini, dan lebih jeleknya lagi, kepolisian sepertinya sudah kehabisan akal untuk mencari jalan keluar dari usaha penangkapan-penangkapan yang selalu gagal.

“Kau yakin, Liva?”

Aku mengangguk pasti, hal yang selalu kulakukan ketika aku sangat yakin pada tindakan dan ucapanku.

“Kalau begitu aku akan melapor ke atas dulu, kau tunggu saja. Dan tidak apa-apa kalau kau nantinya gagal, toh memang tidak pernah ada yang berhasil..” katanya.

“Terima kasih Pak, saya akan berusaha tidak mengecewakanmu!” kataku.

Dia hanya mengangguk datar.

* * *

“Ayah..jangan tinggalkan Liva!”. Liva dalam versi tujuh tahun, mengenakan baju berenda yang manis menggapai-gapai tubuh ayahnya, namun tak sampai.

“Tidak apa-apa Liva, kau akan besar disini, kau akan aman, Nak!”. Pelan-pelan figur ayahnya menjauh. Kabur. Namun Liva tetap berteriak, meraung, menggapai-gapai sosok yang semakin jauh itu.

“Tapi Liva ingin bersama Ayah, Liva aman bersama Ayah!!” Liva berkata pada laki-laki tinggi besar yang dipanggilnya Ayah itu.

Laki-laki itu menggelengkan kepalanya. Lalu menghilang, membiarkan anak perempuan satu-satunya dibawa pergi menjauh darinya.

“AYAH…!!” teriakannya membangunkannya dari tidur.

Liva bangun dari tidurnya, bajunya basah karena keringat. Mimpi, dia bermimpi lagi. Mimpi yang sama dalam setahun belakangan ini.

Dia mengingat ayahnya lagi, alasan kenapa Liva begitu nekat ingin masuk kepolisian adalah karena ayahnya. Ya, ayahnya adalah penjahat terbesar di kota ini, hingga tak ada yang bisa menangkapnya. Ayahnya sesungguhnya adalah Bos Besar dari geng Apel Hitam. Namun, tak ada yang tahu hal itu. Tak seorangpun. Hanya dia dan Tuhan.

Liva sudah berjanji pada dirinya sendiri, ketika dia membaca koran pagi itu menayangkan berita yang tak akan dilupakannya seumur hidup.. Pengeboman yang terjadi di Hotel Jetzt yang membunuh ratusan orang. Ketika Liva memandang wajah tersangka yang merupakan otak peristiwa itu, darahnya seakan naik ke kepalanya, membuat badannya gemetar. Dia tak bisa melakukan apapun, selain menatap lekat-lekat potret laki-laki yang terpampang jelas di koran paginya. Dia sangat marah. Wajah itu tak salah lagi, adalah ayahnya.

Benjamin Gerart.

Bos Besar Geng Apel Hitam.

Liva melihat lagi jam digitalnya. Pukul 03.00 dini hari. Setelah mimpi itu dia sudah tak bisa memejamkan mata lagi.

* * *

Kabar terkini tentang Geng Apel Hitam adalah mereka akan melakukan aksi anarkis lagi. Tapi kali ini bukan pengeboman, tapi perampokan besar-besaran. Kepolisian telah memeriksa tanggal-tanggal kejadian di kota ini. Dan menurut mereka, setiap pertengahan tahun Geng Apel Hitam selalu melakukan perampokan besar-besaran. Liva pun bersama rekan-rekan Kepolisian melakukan persiapan yang matang sebelum peristiwa ini terjadi.

“Sersan Liva, Anda diminta segera menyerahkan laporan tentang perampokan kemarin kepada Pak Jersin, di ruangan beliau!”

“Baik aku akan segera ke sana!”

Liva lalu mengambil laporan yang dimaksud dan beranjak menuju kantor atasannya itu.

Di Markas Geng Apel Hitam

Laki-laki berjas hitam yang sedang membawa nampan makanan yang berisi makanan sehat itu membuka pintu dan tersenyum melihat orang yang dihormatinya itu sedang duduk di depan jendela yang dapat langsung melihat laut. Dia membawa senampan makanan, yang tak usah diragukan lagi menunya. Karena dia merasa kehadirannya tak disadari oleh laki-laki yang duduk itu, suaranya lalu memecah keheningan, berkata, “Makanan Anda sudah siap”.

Laki-laki tua yang dipanggil itu berbalik dan tiba-tiba tersadar dari lamunannya, lalu segera berdiri menatap nampan yang dibawa anak buahnya itu dan lalu tersenyum.

“Terima kasih Fred, tolong letakkan di meja…, aku ingin bicara padamu sebentar.”

Fred lalu meletakkan nampan makanan itu di meja lalu duduk di kursi setelah melihat bosnya duduk.

“Bagaimana perkembangan rencana kita?” laki-laki tua tadi, Tuan Benjamin Gerart bertanya dengan suara yang tegas.

“Sudah siap, Pak! Kita tinggal menunggu hari itu saja!”

“Jangan sampai ada yang tertinggal, bagi yang tidak bisa ikut, kalau alasannya kuat,....” Tuan Gerart ragu melanjutkan kalimatnya, namun dia tetap melanjutkan,”... Adakah yang tidak ikut?”

“Memang ada yang izin. Husain namanya. Katanya istrinya akan melahirkan..”

“Oh, benarkah? Kalau begitu berikan dia beberapa jumlah uang…Bantu temanmu..”

Fred mengangguk, bosnya ini sangat baik.

“Kau bisa pergi. Aku ingin menikmati makan pagiku…”

Fred lalu berbalik, berjalan keluar dan menutup pintu rapat. Begitu Fred keluar, Benjamin langsung menuju meja kerjanya, menarik laci atasnya yang dikunci, lalu mengeluarkan agendanya yang bersampul hitam, memeriksa tiap lembarannya, dan berhenti pada halaman itu, halaman yang telah disimpannya foto kenangan.

Bergambar istri dan anaknya.

“Vita…aku rindu padamu.., aku mohon jagalah anak kita,..Liva..” katanya lirih.

Dia menyentuh matanya yang basah, lalu menghapus air matanya. Setelah beberapa menit dia memandangi foto itu, dia meletakkannya kembali ke tempat semula dan mengunci rapat lacinya. Tak lama diapun kembali ke meja makannya, menikmati sarapan paginya, ditemani suara deburan ombak memecah karang yang mengusir sepinya. Kesendiriannya.

Hari itu tiba, dengan berlengkapkan senjata canggih, mobil patroli dan beberapa liter gas air mata seluruh anggota Kepolisian berjaga-jaga di sekitar tempat kejadian. Namun, mereka berusaha tak menarik reaksi berlebihan warga sipil yang ada di sekitar area itu.

“Jaga area 1, dan laporkan segera kalau ada yang mencurigakan!” suara Liva keras dan tegas. Dia lalu menuju ke pintu depan Bank Nasional Jetzt yang terkenal. Memandang pintu emasnya.

Seharusnya bangunan ini dilengkapi kamera, dan pintunya memakai alat sensor identitas!! pikirnya.

“Sersan Liva!!Area 1 aman!” kata suara dari walkie-talkienya.

“Baik lanjutkan Area 2.., segera laksanakan!” teriaknya pada walkie-talkienya.

“Baik, laksanakan!”

Apa yang selanjutnya terjadi adalah mobil-mobil yang tidak beridentitas, tanpa nomor polisi, tiba-tiba menyerbu ke segala arah. Menutup penglihatan polisi lain yang berjaga di sekitarnya. Mobil-mobil itu merengsek masuk menuju pintu depan Bank Nasional, membuat Liva terkejut karena kira-kira sepuluh mobil tanpa identitas mengepungnya di tengah-tengah. Dan mobil patroli terdekat sejauh 500 meter, artinya dia tak bisa kemana-mana. Mobil-mobil itu telah membuat barikade yang memojokkan Liva sendiri tanpa ada pengawasan polisi lain.

Ada yang keluar dari mobil, kira-kira jumlahnya sepuluh orang, melewatinya, dan masuk ke dalam Bank Nasional, meluncurkan tembakan peringatan dan kemudian terdengar teriakan orang-orang , terdengar tembakan lagi, namun kali ini tanpa teriakan.

Beberapa orang lagi keluar dari mobil, Liva masih tak berkutik. Kali ini 2 orang itu menarik tangannya dan menggiringnya masuk ke dalam bank. Dia tak melawan.

Liva mendapati banyak warga sipil berada di dalam. Anehnya, walaupun mata mereka semua ditutup memakai kain hitam, hal itu tidak diberlakukan padanya. Semua warga sipil itu kemudian dibawa ke sebuah pintu yang Liva tak tahu berujung dimana. Dia mencoba memanjangkan lehernya, dia kemudian melihat keanehan lagi. Pintu itu menuju ke luar. Satu-satu warga sipil itu dikeluarkan keluar.

Aneh, pikir Liva.

Namun, Liva belum sempat memastikan semua warga sipil itu keluar dengan aman, karena tiba-tiba dia dikejutkan oleh kehadiran orang yang selama ini dirindukan sekaligus paling dibencinya seumur hidupnya, Benjamin Gerart datang, ayahnya datang.

Dia datang tanpa pengawal di belakangnya. Wajahnya tampak telah menua dan kesepian. Liva ingin sekali berlari dan memeluknya sekuat-kuatnya, namun ada juga perasaan untuk memukulnya bahkan menembaknya mati.

Ayahnya mendekatinya, sosoknya makin dekat dengan Liva. Liva ingin menangis, dia begitu dekat dengan ayahnya kini. Orang yang hampir seratus tahun dirindukannya dan berusaha menahan diri untuk mengingat wajahnya.

“Jangan mendekat, kau penjahat!” Liva tiba-tiba berkata, dia juga terkejut mengapa kata-kata itu yang keluar dari mulutnya. Bukan kata-kata manis yang pantas ditujukan anak kepada ayahnya.

Ayahnya berhenti melangkah, dia tersenyum namun matanya terlihat kecewa. Dia lalu berkata, “Kau sudah dewasa rupanya, Liva.”

“Jangan berani-berani menyebut namaku, kau...kau kotor, penjahat!” seru Liva.

“Ya, aku ingin memanggil namamu, Liva..Liva...Liva! Aku sudah lama tidak memanggil namamu, dan sekarang aku akan memanggil namamu sepuasku..”

“Kau tidak berhak,..kau, kau sendiri yang membuatnya begitu!” kata Liva.

“Kau tidak mengerti, Liva.”

“Apa yang tidak ku mengerti? Bahwa kau meninggalkanku di panti asuhan hanya karena kau ingin menguasai dunia?” kini Liva berteriak. Dia berusaha keras, agar air matanya tidak terbit dan suaranya tidak menyuarakan kesedihannya yang menggelegak.

“Sebelum memiliki dirimu, aku memang sudah begini, Liva”

Liva tidak menjawab, dia hanya diam, menunggu ayahnya menjelaskan lebih jauh.

“Aku menikahi ibumu, karena kami saling mencintai. Dia tahu profesiku ini. Tapi dia tetap ingin menikah denganku, dan itu membuatku semakin kagum padanya, namun satu hal yang tidak kuketahui, bahwa hal itu bisa mempengaruhi keselamatan ibumu. Dia akhirnya dibunuh oleh musuhku, sewaktu aku pergi ke luar kota…, itu saat kau berumur tiga tahun.”

“Mengapa orang itu tidak membunuhku juga?” Liva bertanya lirih.

“Karena aku melindungimu, Liva! Aku menitipkanmu setelah kau berumur tujuh tahun di panti asuhan agar tak ada yang tahu bahwa aku mempunyai seorang anak,…jika orang lain tahu, aku takut ini akan mempengaruhimu..”

“Bahwa aku akan dibunuh?” kata Liva

Ayahnya menggeleng, “Bukan karena itu! Aku hanya tidak ingin membuatmu seperti aku, aku tidak ingin membesarkan anakku di lingkungan kekerasan seperti ini, aku ingin kau hidup normal, menjalani aktivitasmu, sekolah, dan menjadi apa yang kau mau tanpa ada ancaman-ancaman setiap hari, dan tanpa rasa takut setiap hari bahwa kau akan dibunuh…” kata ayahnya menjelaskan, setelah ayahnya sudah tidak tahan lagi, dia kemudian berlari dan memeluk Liva. Liva menangis, memeluk ayahnya erat-erat. Memanggil nama ayahnya ribuan kali, dia tak ingin melepaskan ayahnya.

“Ayah, kumohon pulanglah aku membutuhkanmu.....”

Ayahnya menggeleng. Liva merenggangkan pelukannya.

“Tidak bisa, Liva. Inilah duniaku…dengan atau tanpamu.., kau tahu? Aku hanya berpikir mengapa baru kali ini kau yang menangani kasusku, mengapa tidak dari dulu, aku sudah berkali-kali merancang rencana ini untuk bertemu dengan putriku, anak perempuanku yang brillian, anak dari permaisuriku...”

Liva terdiam, dia mengingat ibunya. Dia tidak pernah bahkan untuk mengira-ngira wajah ibunya seperti apa. Liva lalu melepas pelukannya dari ayahnya, lalu dengan wajah ceria dia menghapus air mata ayahnya dan berkata,

“Aku baru saja ditugaskan menangani kasus geng Apel Hitam, geng terbesar, geng terbesar di kota ini, geng yang ayahku menjadi bos besar di dalamnya! Aku polisi yang hebat!”

Ayahnya mengangguk.

Mereka pun berbicara tanpa ada yang mengganggu. Berkali-kali walkie-talkie Liva berbunyi, tapi dia tak menggubrisnya, setelah beberapa jam lewat, ayahnya pun pergi meninggalkan Liva. Ayahnya memberikan Liva alamat e-mailnya, jika suatu saat Liva rindu padanya dan ingin berkomunikasi dengannya. Namun, sebelum ayahnya pergi, Liva diikat, diberi pemerah kulit dan matanya ditutup, agar memberi kesan bahwa dia telah disiksa dan disandera.

Setelah hari itu, kota itu bersih dari aksi Geng Apel Hitam, tanpa ada penangkapan anggotanya satupun. Kejahatan-kejahatan geng besar itu baru dibongkar setelah bos besar mereka, ayah Liva, mati dalam kecelakaan pesawat, dan Liva memundurkan diri dari kepolisian pusat.

S E L E S A I

P.S.

For Noe : ”Well, this is you’re inspiring story...”

0 komentar:

Posting Komentar