Senin, 26 Juli 2010

IELSP: My Best Experience Along My Life





Experience is a great teacher, John Legend said. We live, we feel and we learn something every moment in our life. Experience is one thing you can't get for nothing. It’s priceless. I believe everyone has their own happenings, feelings and stories along their way of life. Some are dreams, some are passion and we give a hard trying to get them. Dreams, life, passion, stories and even ourselves are the product of all our experience. That’s what I thought after through (almost) eight weeks in Tucson, Arizona with my twenty friends from Indonesia, since I got scholarship of IELSP this year.
Living in Tucson need a hard trying. It took two weeks for me to adjust and make sure of myself that “it’s not in Indonesia”. I have to take care of myself instead of my parents used to. I have my own room apartment shared with my friend, Hera from West Borneo, Indonesia. She was three years older than me, good chef and nice roommate. I was Bugisian and she was Javanese. I realized that, the fact that I’m living in a country that has a broad cultures and different people came here for many purposes, my first exchange culture happened in my own room.
The key is tolerance. I was reckless, moody and have a bad habit : procrastination. After (almost) eight weeks living in here with my twenty friends from Indonesia and CESL’s friends and teachers, I feel more understand and realized that tolerance is a difficult to learn. We have to think instead of just follow our feeling; think that we are all different, that we couldn’t hope another people do what we want them to do for us. I was reckless, moody and did procrastination but now I have to change, because I have to tolerant with my tidy discipline roommate, because I realized that I was shared my life with her. It started with her then others.
My first impression when I arrived in Tucson is the people was very friendly. Everytime I meet with someone new, they greet me like, “Hello, how’re you?” or just “Hello..!” and I replied with “Good, how’re you?” and they answered, “Good..”. That’s one thing. When I want to go somewhere by Suntran and I don’t know how to get there, I asked people and suprisingly, they want to help by showed and explained the way on map. English is everywhere here. Two months here, English was just like Bahasa to me. My first class in CESL, I got surprised too because I catched everything teacher said although there are some words I didn’t know the meaning.
This scholarship have showed me the other side of the world that made me really ‘see’ diversity in this world. In this young age, I have been so lucky for getting such a great opportunity like this. When I really want to study and improve my English, IELSP come and take me to an appropriate place like Center of English As a Second Languange (CESL) in Tucson, Arizona, US. This program provided me a really comfortable accomodation, nice atmosphere for study with many places to visit on weekend.
From pre-departure orientation in Jakarta last April, we given many informations about our departure, visa interview and chance to see our alumni for each representative in university. There is person who take care of us from the beginning until we arrive in our destination. I couldn’t hope much more, for me it’s more than enough.
This is my unforgetable experience and my best journey along my life. There are so many culture lesson I’ve got that will really helpful in my CV for seeking a good job...and get a masters degree scholarship later. I really want to continue my study in Europe, someday. Like I always think, knowledge making us addiction. Once we get enjoy of them, we will hard to stop it. I hope I will never quit study; academicly and get life lessons. []

Rabu, 21 Juli 2010

Get Well Soon, Bib.




Oh Gosh,

Habib drop. Tadi malam sekitar pukul 01.30 am dia pingsan di kamarnya. Semua teman-teman yang masih belum tidur datang melihat, termasuk saya. Saat datang ke kamarnya, dia setengah mati menahan sakit di perut, kaki nya mengeras, dingin. Saya, Maria, dan Yeyen memeganginya sambil memberi kata-kata "sabar, Bib".

Saya khawatir sekali. Yudi dan Sakti memanggil taksi. Setelah 15 menit, taksinya datang. Habib digotong keluar kamar menuju gerbang apartemen. Saya lari mengambil sandal dan jaket kesayangan sahabatku itu, entahlah, saya ingin ada sesuatu yang menguatkan dia kemana-mana.

Supirnya menolak mengantar ke rumah sakit. Alih-alih, dia menghubungi 911 dan menghabiskan hampir lima belas menit lagi bicara dengan entah siapa 911 itu. Habib sudah di dalam taksi, menahan sakit luar biasa, dan masih ditanya, "Is he still breathing?". Amerika benar-benar payah. Sumpah, payah sekali.

Lalu dari kejauhan, sirene alarm ambulance berbunyi. Mobil besar mengangkut tim medis yang berpakaian seragam dan membawa peralatan entah apa. Mereka lalu mengerubungi Habib yang masih di dalam taksi, memeriksa dan melemparkan pada kami pertanyaan-pertanyaan. Beberapa menit kemudian, mereka memberitahu bahwa Habib akan dibawa ke UMC-University Medical Centre, dekat Speedway.

Ika yang ikut di mobil ambulance. Saya, Wiwid, Yudi, Sakti dan Firman mengikuti dengan taksi dari belakang.

Sampai di UMC, saya melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 02.00 am. Kami diminta menunggu di lobi.

Lima belas menit kemudian, petugas sosial, Melissa, datang dan mencari Yudi. Katanya Habib panggil namanya terus. Melissa lalu bertanya padanya tentang apa yang sebenarnya terjadi, kira-kira apa penyebabnya. Yudi menjawab dan menceritakan detail nya. Melissa mengerti dan berkata kami tidak usah khawatir, Habib sedang diurus dokter.

Kami menunggu hampir dua jam lebih di lobi yang dinginnya amit-amit. Kami berusaha untuk terlelap beberapa menit. Pukul 04.30 am, perawat datang dan membolehkan kami masuk melihat Habib. Firman dan Sakti giliran pertama. Dua puluh menit kemudian mereka kembali, lalu Yudi dan Ika masuk. Tiga puluh menit kemudian, mereka kembali. Wiwid masuk lebih dulu, lima menit kemudian saya menyusul.

Ruangan emergency tempat Habib dirawat penuh dengan alat-alat medis yang hanya saya lihat di film-film Hollywood. Komputer ada tiga tersebar di sudut-sudut ruangan. Ada rak besar penuh dengan map-map dan pakaian operasi. Cahaya nya redup. Ada gorden berwarna krem yang menjadi pintu. Wiwid sudah di dalam, kedengarannya menasehati Habib. Saya tidak bisa menangkap apa yang dikatakannya.

Habib di infus. Badannya penuh stiker yang ada kabelnya. Di telunjuk tangan kanannya di grip dengan entah apa yang ujungnya berwarna merah. Dia terbaring lemah dan tidak bisa banyak bicara.

Wiwid dan saya berusaha membuatnya nyaman. Kami bahkan membicarakan tentang biaya perawatan disana. Berapa harga tiap stiker yang ada ditempel di badannya. Berapa harga infusnya, berapa biaya dokter, berapa biaya suntik, dsb. Alhamdulillah, Habib tertawa dan membuat saya berpikir, dia sudah tidak apa-apa.

Pukul 06.20 am, setelah memutuskan Ika lah yang menjaga Habib di UMC, kami pulang ke apartment. Yudi harus ke kampus. Saya dan Wiwid memutuskan hari ini tidak ke kampus. Kami ingin istirahat saja di kamar.

Hari ini, Tucson berbeda. Itu saja. Mungkin bukan Tucson yang berbeda. Mungkin Tucson masih sama. Pagi nya sama. Saya saja yang memandang berbeda.

Habib Rahman, cepat sembuh ya..


Love,
Sunshine


Sabtu, 17 Juli 2010

Tucson, 07.17.10

At Sahara Apartment
3215 room



take a picture with Maria, friend from Nicaragua and Aziz.
Hari ini Sabtu. Tadi pagi bangun jam 9. Subuh terlewati begitu saja [lagi-lagi saya telat bangun]. Setelah benar-benar bangun, saya berusaha untuk mengingat apa rencana hari ini. Ooh, pukul sebelas ada FREE Saturday Class di CESL lalu pukul 5 sore, mau ke Desert Museum. I think it will be great.
Saya hanya tidak mengingat akan berjalan kaki ke CESL.

Sebenarnya dari Sahara ke CESL-Univ. Arizona- cukup dekat. Takes time about 30 minutes. Di perjalanan pasti tidak akan terasa karna bisa liat rumah-rumah unik dan cafe-cafe yang nyaman, guys. Apa yang menjadi kendala dan keluhan terberat adalah.....terik matahari Tucson yang begitu sangat menyiksa. Kalau kalian sering mengeluh betapa panasnya Makassar,..Tucson lebih dibanding itu. Serius. Serius beribu-ribu kali. Kalau ndak percaya, kesini saja.

Jadi, dua puluh menit [lagi-lagi telat] sebelum jam 11, saya, Wiwid, Yudi, Rohman dan Yeyen berjalan menuju CESL. Kami memang anak Indonesia yang rajin belajar dan sekolah. Kami bisa saja tidur-tiduran di kamar yang nyaman dan ber-AC, alih-alih menempuh perjalanan seperti itu. Kami hanya terus berjalan sampai gerbang Univ. Arizona nampak. Senangnya bukan main.

Di CESL, dalam 3 minggu ini, setiap hari Sabtu, ada Free Saturday Class. Jadi ada semacam latihan mengajar untuk guru-guru baru. Nah, karna mereka mau latihan mengajar, maka kami lah yang jadi muridnya. Bukan cuma Indonesian saja, kok. Semua murid CESL, if they want, they may come. Kelihatannya, semua yang datang itu adalah mereka yang berburu poin, berhubung karna beberapa guru menjanjikan extra point bagi murid yang datang. Saya salah satunya.

FSC usai pukul 2 PM. Masih ada sekitar dua setengah jam lagi sebelum ke Desert Museum. Saya dan Wiwid akhirnya menjalani jalanan yang layaknya oven itu, menuju apartment kami yang nyaman, Sahara.

Lalu pukul 4.40 PM, saya, Yudi, Maria, Habib, Aziz dan Fahrin berjalan kembali ke CESL. Alhamdulillah, mendung. Bulan ini, Tucson have a monsoon. Perjalanan, hanya meletihkan kaki. Tanpa sengatan perih di kulit karna panas. Kami ber-4 tanpa Yudi dan Aziz lebih beruntung lagi karna ada trem yang menuju kampus. So, kami menumpang trem dengan $1.


turun dari trem, foto dulu...

And then, sampailah kami di depan CESL. Saya cukup senang karna Steve ikut rombongan kami ke Desert Museum juga. He's just a nice teacher.

waiting in front of CESL, ready to go to museum!

Menaiki 2 van ke Desert Museum, perjalanan sekitar 30 menit. Pemandangannya such an amazing. Mountains and saguaro everywhere...

First experience always be the best.


Dan rasanya untuk menggambarkan tentang Desert Museum, cuma bisa dengan foto-foto. Words aren't enough. Cuma bisa bilang, "beautiful...beautiful"


Love,
Sunshine

Minggu, 04 Juli 2010

Judulnya : Sunshine

Tulisan ini dibuat oleh sahabatku, Dini. Tulisan tentang diriku yang membuat saya terharu sampai menangis. Thanks, Din...


Hari itu mungkin belum genap sebulan aku menjadi mahasiswa Ilmu Komunikasi, aku masih seseorang yang gagu, belum mengenal banyak orang dan masih belum percaya diri untuk bergaul, mungkin saja karena aku seorang pendatang.


Tiba-tiba datang seorang temanku, bisa dibilang begitu, karena kami seangkatan dan sejurusan.
Ia meminjam hpku, katanya iseng untuk melihat-lihat foto, tak lama ia berbicara padaku

“sukako juga Jason Marz?”

Aku menengadah padanya, pasti dia baru saja melihat wallpaper hpku

“iya… kau juga suka?”

Tak lama, kami bercerita mengenai pria yang jauh di belahan dunia lain itu, mempunyai kesamaan dalam kesukaan bisa membuatmu membina hubungan yang lebih jauh.Buktinya saja, Sampai sekarang teman yang bertanya itu telah aku anggap sebagai seorang sahabat, iya..ia pantas disebut seorang sahabat …

Sahabat yang mau saja mendengar apapun ceritaku, mengenai seorang pria yang begitu kucintai, aku suka bercerita padanya, karena mungkin ia menunjukkan rasa ketertarikan akan cerita ku tentang pria itu, ah aku tidak tahu apa ia betul-betul tertarik, tapi kalaupun tidak, ia menghargaiku dengan mau mendengarku

Sahabat yang mau saja aku mintai tolong untuk melakukan apa saja, karena aku tahu ia lebih percaya diri melakukannya di banding diriku yang pemalu ini

Sahabat yang mau saja menemaniku berjalan kaki yang cukup jauh di hiruk pikuk kota Makassar untuk membeli buku, karena kami tidak punya ongkos untuk naik kendaraan

Sahabat yang dengan jujurnya memberi tahu kesalahanku tanpa takut saya tersinggung, dan selalu berusaha agar aku memperbaiki sifatku itu.

Sahabat yang mungkin di hari-hari tertentu bisa menjadi musuh karena ego kami masing-masing

Sahabat yang kadang berbeda pendapat denganku mengenai apa saja, kadang kami memperdebatkan pesan dalam suatu film, kadang ia menutup telinga saat saya memutar lagu band rock, kadang saya mulai sakit kepala jika dipaksanya membaca buku sastra yang benar-benar memusingkan, kadang kami memperdebatkan siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas kasus Century.

Sunshine…
Itu nama sahabatku

Katanya ia senang jika dipanggil dengan sebutan itu, dan betapa senangnya dirinya saat mengetahui ada lagu Jason Marz yang berjudul sama.

Sunshine itu seorang yang unik, yang masa bodoh dengan pendapat orang mengenai pakaian yang dikenakannya hari itu
Masa bodoh dengan kami yang menutup telinga saat ia bernyanyi yang lebih mirip menggumam
Masa bodoh dengan orang yang greget ingin meremasnya saat ia memasang tampang polos di saat seseorang bertanya serius

Sunshine….
Artinya itu matahari bersinar
Mengapa akhri-akhir ini tak ada kecerahan di wajahmu
Kau punya masalah? Kami juga semua punya masalah kok
Kami ingin melihat wajahmu cerah kembali lagi,, sama seperti saat kau berloncat girang memberitahu kau akan ke Amerika,

Tapi aku senang saat ada sinar matahari di wajahmu saat kami tadi bertandang ke rumahmu
Sunshine….
Saat berpelukan di rumahmu kemarin, dan tahu kau akan ke Amerika dua bulan dan kami akan KKN di daerah antah berantah, tiba-tiba rasa iri di dadaku hilang entah kemana berganti dengan rasa kehilangan.
Merindukan semua apa yang kita lakukan
Saling menunggu kuliah selesai duduk di koridor, bergosip mengenai cowok cakep fakultas sebelah, makan bareng di Kansas, pergi nonton di TO dengan uang pas-pasan atau duduk2 di Solaria menunggu makanan sambil menikmati J.Co
Sunshine
Semoga dua bulan kemudian kita bertemu lagi di koridor tercinta dan bercerita mengenai pengalaman masing-masing

P.S : sepertinya daftar oleh-oleh yang saya mau bakal lebih panjang dari catatan kecil di atas, MAAF nda bisa antar ke bandara...